Sebuah bangungan menterang, Istana para pembesar kerajaan yang penuh
dengan perabotan dan hiasan-hiasan, dilapisi permadani tebal. Di ujung
permadani terletak sebuah kursi besar tempat Jahoti duduk dengan gagah,
dikelilingi dayang-dayang. Di belakangnya salah seorang dayang duduk
sambil menggerak-gerakkan kipas besar, sedangkan di depannya Auni
berdiri penuh hormat.
Para pelayan lalu-lalang mengantarkan
jamuan. Di sebelah depan berderet kursi saling berhadapan di sisi
permadani. Para punggawa dan pembesar kerajaan duduk dengan sopan.
Beberapa orang masih tampak berdiri menunggu titah raja. “Duduk!”
perintah Jahoti. Perlahan-lahan Auni beringsut lalu duduk di kursi
paling depan. Para pembesar dengan hati-hati melangkah mundur dan
kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan.
“Hari ini kita
akan membicarakan tentang petani itu,” titah raja. “Siapa Aknom ini
hingga berani menentangku, sedang Aku adalah raja negri ini, tangan
kanan Fir’aun yang agung.”
Dia terdiam sesaat sambil memandang wajah
para pembesar satu persatu dengan senyumannya yang garang. Kemudian dia
kembali melanjutkan, “Aku tidak kuatir dengan kejadian ini. Namun aku
takut akan sering terulang. Aku tidak pernah mendengar sepanjang hidupku
manusia hina dina mengangkat wajahnya di depan tuan-tuannya. Tidak di
Ahnasia, dan tidak pernah juga di wilayah lain. Apakah ini suatu tanda
atau peringatan? Aku tidak tahu, tapi lebih hati-hati jika kita segera
mengambil langkah-langkah.”
“Tuanku, dia hanya seekor kecoak.
Seorang hamba dari ribuan hamba-hambamu. Tidak usah kamu pikirkan.
Biarkan dia berteriak-teriak di dalam gua yang gelap gulita dan
meraung-raung seperti manusia diserang demam. Besok dia juga akan putus
asa, lalu terjatuh kelelahan atau tidur pulas. Orang-orang kemudian akan
melupakannya,” sahut Auni angkat bicara.
Beberapa orang pembesar
wilayah yang jauh telah tiba. Mereka datang dari negri seberang, karena
titah raja untuk segera menghadiri pertemuan. Pertemuan penting yang
tidak bisa ditunda-tunda. Jumlah yang terlambat ini sekitar 15 orang.
Mereka menyampaikan alasan kepada Jahoti tentang keterlambatan mereka;
karena rakyat di wilayahnya menghalang-halangi sehingga mereka harus
berangkat dengan sembunyi-sembunyi. Mereka ketakutan Fir’aun akan murka,
karena ini adalah titah raja. Lebih baik segera menghadiri pertemuan
daripada mendengar pengaduan tentang hama-hama dan kelaparan. Penyakit,
kelaparan, dan hama-hama bisa segera diatasi, tapi murka Fir’aun siapa
yang bisa melawan. Jahoti tersenyum bangga.
“Selamat datang di istana Jahoti, tuan-tuan!” sambut Auni.
Dia menepuk tangannya dan tidak lama kemudian para pelayan datang mengantarkan gelas-gelas minuman.
“Saya
tidak menyangka, bagaimana mungkin Tuanku tidak bisa menghalau
kecoak-kecoak itu? Hanya satu orang petani, mencuri ketenangan harimu
dan bersemayam dalam pikiranmu saat tidur dan bangun. Apa yang akan
Tuanku lakukan, seandainya mereka sepuluh orang?” kata Tata mulai angkat
bicara.
“Tuanku justru telah mengambil kebijakan yang bagus. Dia
mengundang kita untuk membicarakan bersama. Musyawarah adalah
kemestian, jika kita ingin mendapatkan strategi jitu. Karena, pendapat
satu orang tidak lepas dari kelemahan,” sahut Yaya.
Jahoti
tersenyum lalu berkata, “Orang-orang mengatakan, Jahoti adalah manusia
adil dan bijaksana. Dia tidak menjadikan pangkat dan jabatan sebagai
alat kezhaliman. Justru dengan pertemuan Dewan, dia mengeluarkan
kebijakan untuk wilayah, hingga wilayah yang jauh di sana.”
“Oh
kalau ini sudah maklum. Bahkan pembesar-pembesar negri jauh pun tidak
akan berani menolak datang. Demi pertemuan penting mencapai
kemaslahatan. Dengan harapan Tuanku dan para pembesar bisa mendapatkan
keputusan menghadapi banyak tuntutan dan penentangan,” sahut Yaya.
Auti masuk dengan tergesa-gesa. Napasnya tersengal-sengal seperti orang yang baru terlepas dari kejaran anjing.
“Tuanku
dan tuan-tuan sekalian. Maafkan keterlambatan saya. Di tengah
perjalanan saya menjumpai peristiwa yang sangat mengejutkan.
Anjing-anjing menyalak dengan ganas dan menakutkan seakan-akan kita
adalah orang-orang bodoh yang melarikan diri dari tanggung jawab.
Bukankah kita adalah manusia-manusia pilihan? Dilantik oleh Fir’aun
sebagai pembesar untuk mewakili rakyat di wilayah kita masing-masing.
Bukankah kita ini orang-orang yang pintar dan sangat berpengalaman?
Kenapa justru membuat kita terkejut dan takut apa yang sekarang sedang
ramai di kalangan rakyat banyak hingga keruh malam-malam kita dan
seperti tidur di atas bara?”
“Aku ini, anakku, orang tua yang
sudah melewati tahun-tahunnya. Aku persembahkan hidupku hingga akar
pohon-pohon menancap kokoh. Dan aku sandarkan pucuk yang lembut hingga
tidak terbang ditiup angin. Atau bagaimana dahan-dahan itu tidak
bergoyang, atau ada tangan yang mengguncang. Aku takuti burung-burung
dari buah yang sudah matang, dan aku tidak pernah kikir dengan
pengorbanan. Berapa banyak penderitaan yang aku hadapi dan aku sudah
lelah. Berapa banyak penghargaan yang aku dapatkan. Kami dari
putra-putra generasi pertama, orang-orang yang telah membangun
singgasana kerajaan. Kami wariskan kepada kalian kebesaran ini, dengan
keringat dan susah payah. Kami persembahkan dengan pengorbanan yang
pahit, istana-istana yang berjejer di lembah-lembah. Sumber kehidupan
dari kemurahan silsilah tuhan, para Fir’aun. Kekuasaan istana membentang
lebar dan panjang ke semua penjuru bumi. Istana yang mempunyai kekuatan
lahir dan batin, menurunkan atau meninggikan, dan memberi atau
menghalangi. Istana yang penuh dengan kuasa, bahkan penentu
takdir-takdir. Maka bagaimana mungkin aku tidak terkejut, atau cemas,
atau dirundung kesedihan,” tukas Yaya dengan suara lirih menjelaskan
panjang lebar.
“Aku sendiri, tidak ada yang mengubahku. Hatiku
masih bergelora dengan keagungan. Dua tanganku masih kokoh. Dan jiwaku
penuh kelembutan,” sahut Tata sambil tertawa.
“Memang siapa di antara
kita yang gemetar sendi-sendi tulangnya, Tata? Apakah singgasana ini
dibangun oleh pengecut?” tanya Jahoti garang.
“Tidak.. tidak. Kalian lebih perkasa dari batu karang. Semua harap tenang,” sergah Yaya
“Akan
tetapi aku harus tetap membuka mata seperti ular. Mengukur setiap
langkahku di atas tali terbentang. Tidak mungkin aku berdiam di bawah
naungan pohon rindang dan santai telentang. Dan menyerah pada hembusan
angin sungai. Punggungku harus tetap bersandar di dinding. Selalu siaga
agar tidak menyesal kemudian hari. Atau kekuatan lain meruntuhkanku.
Atau apakah demam tidak menular? Dan semua berlalu sampai wabah baru
mengancam,” sahut Jahoti dengan tegas.
“Baiklah, sekarang mari
kita kemukakan pikiran-pikiran. Dan kita pilih solusi yang baik,” kata
Tata. Auni, Tangan Kanan Jahoti, permisi angkat bicara dengan penuh
sopan.
“Ribuan pemuda sudah berhimpun untuk menentang kita. Mereka
telah menyalakan API pembangkangan di setiap sendi tulang. Sehingga
membakar dada orang-orang, lalu mengeluarkan kilat-kilat menakutkan
seperti desiran angin setan.”
“Pikiranku kuno sudah membatu.
Masaku telah berlalu hingga gagasan-gagasannya telah hancur. Namun aku
hanya ingin menyampaikan sesuatu sebagai bahan pertimbangan. Pemuda
sekarang tidak lagi seperti kemarin. Mereka telah menyadari banyak hal
dan membuang jauh wasiat-wasiat lama. Mereka berbaring tenang, tetapi
menyimpan penentangan dan permusuhan. Mereka mengatakan, generasi demi
generasi telah menipu kita dengan omong kosong. Mengultuskan semua yang
pernah dikatakan masa lalu adalah kejahilan yang membudaya dan
kebodohan. Dan itulah sumber petaka. Mereka membuat sistem-sistem baru,
mencari jalan keluar. Mereka menggali kebenaran dan jawaban. Apakah
seperti ini yang mereka klaim. Dan hari ini, kalian pembesar yang juga
masih muda, hadir di sini. Barangkali banyak pikiran baru. Pemikiran
modern.. pada masa yang selalu mengubah kulitnya setiap hari. Dengan
kalian kita bisa memberangus setiap pikiran yang menentang dan
menghancurkan, dengan lembut jika lebih berguna, dengan pembiusan, atau
kalau perlu dengan kekerasan,” ujar Yaya.
“Kami tidak
mengesampingkan pikiran yang cerah ini, atau strategi bagaimana
menghadapi. Bahkan kami pada akhirnya adalah para pembesar pilihan yang
disegani. Orang-orang mengenal kita dengan dua wajahnya yang lembut dan
beku. Kita mengenakan seribu topeng dalam satu hari. Bagi kita apa yang
kita inginkan, bukan yang diinginkan oleh orang-orang mabuk yang banyak
ribut itu. Kita telah menghadapi semua itu berkali-kali dan bahkan
setiap hari. Hingga kita menjadi berpengalaman dan para ahli,” sahut
Tata.
“Kalian memang orang-orang pilihan di antara masyarakat
ini. Dengan kalian, semakin rindang pohon-pohon kekuasaan. Sawah-sawah
menjadi subur dengan gelimangan air, hingga penuh perbendaharaan desa
dengan sumbangan dan pemberian kalian. Sedang para penentang itu
hanyalah kecoak yang iri dengki atau kelalawar malam yang mengganggu
tidur,” puji Auni.
Tata menatap Auni dengan penuh kebanggaan dan
senang. “Betapa kalian orang-orang yang penuh ide dan gagasan, buah dari
pikiran malam.”
Jahoti memandangnya dengan jengkel. “Kenapa kamu
belum juga mengajukan usulan sejak tadi? Apakah kamu sengaja atau kamu
menganggap kecil persoalan, Hai Penyelamat.”
“Oh tidak karena
apa-apa. Aku memang laki-laki penyelamat. Selalu datang pada saat-saat
genting. Aku disegani di banyak wilayah dan dikenal sebagai pangeran
tipu daya, mampu menghadapi masalah dengan penuh siasat. Aku berburu
dengan senyuman, dan siulan berirama.”
“Tata, segera masuk ke topik persoalan. Kemukakan gagasanmu,” desak Yaya.
Setelah
berpikir sejenak, Tata angkat bicara, “Gampang! Kita tenggelamkan
mereka dengan isu-isu dan berita-berita. Ini sering menggoda
orang-orang. Kita menyerah kepada telinga terbuka siang dan malam. Kalau
perlu, undang mereka makan malam di istana. Kemudian kita tanamkan
kepada mereka apa yang kita inginkan; segala godaan, berita hangat,
seribu alasan. Perlihatkan kepada mereka keberhasilan-keberhasilan kita
atau perbaikan-perbaikan. Cukup kita tipu mereka dengan sedikit
menyusupi berita-berita. Angkat orang-orang pintar menjadi teman
sehingga mereka dipercaya mengemukakan analisa dan penelitian. Kita bisa
pergunakan pendukung-pendukung kita yang tersebar di pasar-pasar dan
setiap tapak jalan. Tidak usah takut dengan suara mereka, tapi tampakan
bahwa kita mengagungkan kritik. Dan kita bisa masukkan sedikit alasan
dan beberapa penjelasan.”
“Begitu juga yang sebenarnya sedang aku pikirkan,” sahut Jahoti.
Suara
teriakan lirih terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin mendekat.
Mereka terdiam dan memasang telinga masing-masing ke arah suara. Semakin
dekat dan jelas. Aknom sendirian berteriak-teriak dari depan istana.
“Kokohkan
hatimu di kedua tanganmu. Tegakkan keadilan di sekitarmu. Untuk hari
ketujuh aku angkat suaraku. Lalu kenapa kebenaran tidak juga sampai ke
telingamu. Kenapa? Tuanku, apakah kamu menutup telingamu?”
Darah
Jahoti berdesir. Keningnya berkerut dan wajahnya berubah merah. “Nah
kalian dengar. Dia kembali lagi. Tidak pernah tenang siang dan malam
hingga membuatku hampir gila.”
“Apakah kamu merasa menjadi gila?!
Kalau begitu tidak usah kamu dengarkan suara kecoak sawah hina ini,”
kata Yaya dengan suara geram.
“Bagaimanapun, aku akan terus
menuntutmu. Aku menanti keadilan, yang berpihak kepada orang lemah. Aku
tidak akan pernah menutup mulut, sampai kamu kembali ke jalan kebenaran
dan keadilan tuhan yang lama. Tuanku bukanlah pembesar dan manusia agung
itu, jika tidak menolong orang lemah, jika tidak menjaga harta anak
yatim. Jika kamu mencuri roti dari tanganku, maka kamu benar-benar
manusia zhalim.”
Tata berdiri dan menghadap kepada Jahoti.
“Jangan
bersedih, Tuanku. Aku akan melepaskanmu dari kekacauan ini. Tidak usah
kuatir, aku selalu punya obat untuk semua penyakit.”
“Tunggu!
Auni, bawa dia masuk ke dalam. Biar para pembesar tahu siapa kecoak ini
dan mereka bisa bersiap-siap membuat antisipasi, jika kecoak-kecoak sama
bermunculan di wilayah mereka.”
“Baik, Tuanku.”
Auni
memerintahkan kepada dua orang punggawa untuk membawa Aknom masuk
menghadap raja. Tidak lama kemudian mereka masuk sambil menyeret Aknom
yang dipaksa berjalan mengisut di lantai dengan badan membungkuk menyapu
permadani. Jahoti duduk dengan gagah didampingi pembantu pribadinya,
Auni. Para pembesar menatap dengan sinis kepada Aknom dan tidak sedikit
yang mencercanya dengan hinaan dan makian.
“Inilah dia kecoak yang sombong. Berpakaian lusuh yang menutupi tubuh kotornya,” seru Jahoti.
“Maaf,
Tuanku. Akan tetapi kamu yang meminta maka aku penuhi. Aku hanyalah
seorang petani dan tahu sendiri kadar diriku. Aku tidak sudi disebut
kecoak apalagi sombong sedang aku hanya menuntut hak sebagai rakyat.”
“Tidak sudi?!” bentak Jahoti.
“Perkataan
macam apa ini keluar dari mulutmu yang bengkok! Apakah kamu tahu sedang
berhadapan dengan siapa?” bentak Auni tidak kalah garangnya sambil
mencengkram tangannya dan geram ingin memukulnya.
“Aku tahu, atau
aku tidak tahu sama. Yang penting aku berpegang pada kejujuran dan
tidak mengikuti setan. Apakah ini harus berbeda pada dua kondisi?!”
“Turunkan
suaramu, Kurang Ajar!? Atau aku cambuk hingga remuk mulutmu atau kamu
meminta ampun. Tidak sudi?! Apakah sahaya yang hina pantas menentang
Tuannya yang tidak pernah salah?” bentak Auni sambil mengajukan
penghormatan kepada Jahoti yang agung. Jahoti tersenyum puas.
“Maaf,
Tuanku. Aku hanya mengulangi perkataanku di telinga pembesar-pembesar
yang mulia. Mohon dengarkanlah aku. Kesekian kalinya aku sampaikan, aku
tidak pernah mengambil yang bukan milikku. Benar aku orang miskin. Hanya
memiliki sebidang sawah yang menghidupiku dari hatinya yang besar. Aku
menginjak-injaknya lalu ia mematangkan sayuran dan padi-padi. Aku warisi
dari orangtuaku. Aku berangkat ke pasar kota. Di bibir bersiul
nyanyian, bersama pikiran memendam harapan. Dan sebidang tanah itu
dirampas paksa untuk membangun istana raja-raja. Lalu aku dituduh
mencuri dan menghina punggawa hingga dijebloskan ke penjara.”
“Jangan
menipu kami, kurang ajar. Kami sudah bosan mendengar cerita bohong yang
diulang-ulang ini. Tidak ada jalan selain menerima keputusan. Sawahmu
dulu sudah dijual sita. Kami tidak pernah memenjarakanmu. Kami hanya
menangkap pencuri dengan dosa besarnya. Kamu sudah merdeka, tapi maaf
sawahmu tidak mungkin kembali sebagai tebusan dosa.”
“Aku merdeka sedang sawahku terpenjara?!” seru Aknom berteriak pedih
“Benar,
tidakkah kamu lihat sendiri maling mencuri. Tidakkah kamu mengakui.
Benar kata orang-orang, tidak ada pencuri yang mau mengakui, meski
perutnya penuh dengan harta orang lain atau harta negara. Sawahmu telah
menjadi milik negara dan akan dibangun istana,” jelas Auni.
“Tuanku,
rupanya tidak mencuri kecuali orang yang tahu bagaimana bersiasat.
Tidak ada yang makan harta manusia kecuali manusia. Tidak ada yang
mengharapkan kehormatan dunia dengan kepalsuan dan tipu daya, Tuanku,
kecuali manusia. Tidak ada yang rakus pada orang-orang kecil kecuali
manusia. Manusia berpunggung tak rata telah menjadi bajingan atau
durjana. Disibukkan dunia dan berlindung di balik kalimat Tuhan sedang
cakarnya mencengkram milik rakyat.”
Semua pembesar tercengang dan
saling tatap satu sama lain. Auni berbisik kepada Jahoti, “Dia sudah
mulai merangkai kata menjadi jalinan bara yang menghidupkan API.
Sebaiknya kita bertindak segera agar dia takut dan jantungnya berdebar.”
“Hai
Petani, apakah kamu mencerca para wakil tuhan. Apakah kamu sudah berani
mematahkan tongkat kepatuhan lalu mengajarkan kepada kami bagaimana
mengatur persoalan. Enyah dari depanku dan segera menyingkir dari sautan
cambuk ini. Semua sudah diputuskan, dan sekarang kembalilah. Dan jangan
lupa kamu hanya kecoak tak berguna.”
“Tuanku, maaf. Pakaianku
memang tidak bisa menyuarakan kelembutan hatimu. Namun sawahku adalah
bagian hidupku yang tersisa bersama bangunan rumah beratap rumbia. Kami
makan di sana bersama, dan kami lapar saat anak-anak lapar di sana.”
“Enyah!
Tidak usah kamu ajari kami. Atau sebaiknya kamu bawa sesajen dan mohon
kepada dukun untuk mengatasi masalahmu. Lukis semua penampakan dan
sebarkan kepada khalayak bersama kantong-kantong sumbangan.”
“Apakah
kita telah melangkah kembali ke belakang dan hidup dalam era kegelapan?
Apakah kamu lihat aku hari ini bersimpuh di depan pembesar dari para
penghuni pyramid-pyramid yang agung.”
“Usir dia, aku sudah bosan
mendengar ocehannya. Biarkan dia berteriak-teriak di luar sana sampai
letih sendiri, atau tertidur di samping tembok istana.”
Auni
segera memerintahkan kepada para punggawa untuk menyeretnya keluar.
Aknom melawan dengan keras. Dia meronta untuk melepaskan diri. Para
punggawa menjatuhkannya dan mendorong tubuhnya yang tergeletak di lantai
permadani. Dia melawan. Auni menuruni tangga singgasana dan ikut serta
menendang tubuhnya dengan keras memaksanya keluar. Aknom mengaduh
kesakitan, tapi terus bertahan. Selama kebenaran masih tersiksa, ia
tetap bersabar dengan kesabaran warisan leluhur.
“Kalian telah
berjalan dengan kekuasaan yang semena-mena, bersama luka-luka cambuk
yang tidak pernah bosan, dan kekerasan penguasa zhalim yang tak pernah
henti. Cahaya wajahmu yang penuh dengan senyuman, Tuanku, menyingkap
sendiri wajah-wajah pencuri dan bajingan di istana. Dan bisa membuka
kedok para penjahat.”
“Tutup mulutmu!” bentak Auni. Jahoti berang
dan semakin emosi. “Bawa dia ke tempat penyiksaan!” perintahnya dengan
teriakan garang.
“Silahkan, bawa aku. Siksa aku. Aku sudah tidak
perduli kegelapan penjara dan cambuk siksaan. Sawahku sudah hilang dan
hidup dalam cengkraman manusia durjana. Ya, lebih baik kalian siksa aku.
Gelap malam tidak akan pernah mencekikku, dan angin malam tidak akan
pernah menerpaku. Apa yang ada dalam otaku, rela mendekam dan berdiri
sendiri di depan kegelapan. Karena di atasku masih ada bintang-bintang,
yang menyinari lembah-lembah. Dan akan berteriak setiap hari,
manusia-manusia baru yang menuntut keadilan dan kebenaran. Semakin hari
akan semakin bertambah, Tuanku dan para pembesar sekalian. Harapan yang
jauh menjadi dekat. Silahkan siksa aku sepuas kalian. Percayalah,
harapan yang jauh akan semakin dekat.”
Para punggawa yang lain
berdatangan dan mereka membantu tekan-rekannya membawa Aknom ke penjara
istana, tempatnya menanti siksaan. Suasana sepi mencekam beberapa saat
mengiringi gelengan kepala para pembesar yang terkejut bukan kepalang
melihat keberanian petani lusuh menentang penguasa. Sampai keheningan
itu dipecahkan suara Auni yang kembali angkat bicara memberikan
penjelasan kepada para pembesar yang masih duduk tenang bersama jamuan.
“Begitulah
tuan-tuan sekalian. Tidak ada cara lain untuk mendiamkan orang-orang
pembangkang seperti itu. Semakin mendapatkan keleluasaan, mereka semakin
berani. Seandainya bukan karena Tuanku, Jahoti, yang ingin menunjukkan
kepada kalian semua, tentu saja tidak sampai terjadi seperti ini di
depan tuan-tuan semua.”
Satu persatu para pembesar memberikan pujian kepada Jahoti dan mereka sangat mendukung langkah kebijakannya.
“Langkah
Tuanku sangat bijak. Setelah diperintahkan keluar, dia masih saja
melawan. Tidak ada cara lain selain penjara dan siksa. Orang sepertinya
memang tidak berguna,” kata salah seorang dari mereka.
Jahoti
menatap wajah pembesar satu persatu dengan penuh bangga mendengar pujian
mereka. Sampai pandangannya terjatuh ke kursi-kursi paling ujung. Raut
mukanya berubah dan tidak mampu menyimpan kekagetan di balik kebangaan.
Beberapa pembesar tampak asing di matanya. Pembesar iklim dari mana?
Jangan-jangan mereka mata-mata, dari orang-orang kampung yang kelaparan
lalu diminta rakyat wilayahnya untuk menyusup ke dalam istana.
Orang-orang yang ditatapnya menundukkan wajah. Yaya memperhatikan
tatapan raja, lalu segera berdiri di tempat dan meminta kesempatan
bicara.
“Tuanku, mereka adalah teman-teman saya. Datang dari
negri jauh untuk belajar bagaimana cara kita menyiasati rakyat. Mereka
ingin tahu, bagaimana kita bermusyawarah untuk menghadapi para petani
yang membangkang dan orang-orang yang kelaparan. Mereka masih muda dan
penuh harapan untuk menjadi pemimpin masa depan. Awalnya datang tak
terduga lewat lorong lintas waktu di dapur pribadi milik hamba, Tuanku.”
“Oh
begitukah?! Selamat datang tuan-tuan di negri Ahnasia. Apakah di negri
kalian juga ada kecoak-kecoak pembangkang seperti itu?”
“Ada
juga, Tuanku. Karena itulah kami kemari untuk belajar banyak bagaimana
cara mengatasinya. Di Blora, wilayah saya pernah ada yang sampai
diasingkan dari negri, karena menentang kami, para penguasa, dengan
keras. Namun pada masa-masa sekarang kami sudah tidak bisa melakukan
cara seperti itu lagi. Usulan yang dikemukakan oleh pembesar Tata sangat
masuk akal dan jitu. Kami juga pelan-pelan sudah menggunakan cara
seperti itu. Dan hasilnya sudah lumayan kelihatan. Bahkan keinginan kami
ke sini pun mendapat penentangan dari rakyat. Kami berangkat diam-diam
dan berpura-pura menampakkan di depan mereka bahwa kami perduli dengan
tuntutan mereka. Lalu kita beri alasan-alasan yang masuk akal, dan kita
susupi berita-berita dengan komentar-komentar yang menyejukkan,” kata
salah seorang dari mereka yang kemudian mendapat anggukan kepala dari
teman-temannya yang lain.
“Bagus-bagus. Pertemuan ini cukup
sampai di sini. Kepada para pembesar wilayah sekalian, saya berharap
agar berhati-hati dan segera lancarkan siasat kita dengan
sebaik-baiknya, agar wilayah kekuasaan kita jangan sampai terjadi
keributan dan penentangan. Kepada tuan-tuan dari negri jauh, saya
sampaikan selamat datang ke negri Fir’aun, Negri yang agung ini. Auni,
tolong layani tamu-tamu kita ini. Dan jangan lupa ajak mereka mandi di
Hamam Fir’aun semoga mereka mendapatkan berkahnya dalam memimpin di
wilayah mereka masing-masing.”
Para pembesar dan tamu-tamu agung
itu kemudian membubarkan diri setelah memberikan penghormatan kepada
Jahoti. Kemudian mereka kembali ke tempat-tempat yang telah disiapkan.