kunjungi juga kami di facebook di,Kreasi Santri - meme,guyonan,ilmu dll

Selasa, 19 Maret 2013

Di Negri Fir’aun


Sebuah bangungan menterang, Istana para pembesar kerajaan yang penuh dengan perabotan dan hiasan-hiasan, dilapisi permadani tebal. Di ujung permadani terletak sebuah kursi besar tempat Jahoti duduk dengan gagah, dikelilingi dayang-dayang. Di belakangnya salah seorang dayang duduk sambil menggerak-gerakkan kipas besar, sedangkan di depannya Auni berdiri penuh hormat.


Para pelayan lalu-lalang mengantarkan jamuan. Di sebelah depan berderet kursi saling berhadapan di sisi permadani. Para punggawa dan pembesar kerajaan duduk dengan sopan. Beberapa orang masih tampak berdiri menunggu titah raja. “Duduk!” perintah Jahoti. Perlahan-lahan Auni beringsut lalu duduk di kursi paling depan. Para pembesar dengan hati-hati melangkah mundur dan kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan.

“Hari ini kita akan membicarakan tentang petani itu,” titah raja. “Siapa Aknom ini hingga berani menentangku, sedang Aku adalah raja negri ini, tangan kanan Fir’aun yang agung.”
Dia terdiam sesaat sambil memandang wajah para pembesar satu persatu dengan senyumannya yang garang. Kemudian dia kembali melanjutkan, “Aku tidak kuatir dengan kejadian ini. Namun aku takut akan sering terulang. Aku tidak pernah mendengar sepanjang hidupku manusia hina dina mengangkat wajahnya di depan tuan-tuannya. Tidak di Ahnasia, dan tidak pernah juga di wilayah lain. Apakah ini suatu tanda atau peringatan? Aku tidak tahu, tapi lebih hati-hati jika kita segera mengambil langkah-langkah.”

“Tuanku, dia hanya seekor kecoak. Seorang hamba dari ribuan hamba-hambamu. Tidak usah kamu pikirkan. Biarkan dia berteriak-teriak di dalam gua yang gelap gulita dan meraung-raung seperti manusia diserang demam. Besok dia juga akan putus asa, lalu terjatuh kelelahan atau tidur pulas. Orang-orang kemudian akan melupakannya,” sahut Auni angkat bicara.

Beberapa orang pembesar wilayah yang jauh telah tiba. Mereka datang dari negri seberang, karena titah raja untuk segera menghadiri pertemuan. Pertemuan penting yang tidak bisa ditunda-tunda. Jumlah yang terlambat ini sekitar 15 orang. Mereka menyampaikan alasan kepada Jahoti tentang keterlambatan mereka; karena rakyat di wilayahnya menghalang-halangi sehingga mereka harus berangkat dengan sembunyi-sembunyi. Mereka ketakutan Fir’aun akan murka, karena ini adalah titah raja. Lebih baik segera menghadiri pertemuan daripada mendengar pengaduan tentang hama-hama dan kelaparan. Penyakit, kelaparan, dan hama-hama bisa segera diatasi, tapi murka Fir’aun siapa yang bisa melawan. Jahoti tersenyum bangga.

“Selamat datang di istana Jahoti, tuan-tuan!” sambut Auni.
Dia menepuk tangannya dan tidak lama kemudian para pelayan datang mengantarkan gelas-gelas minuman.
“Saya tidak menyangka, bagaimana mungkin Tuanku tidak bisa menghalau kecoak-kecoak itu? Hanya satu orang petani, mencuri ketenangan harimu dan bersemayam dalam pikiranmu saat tidur dan bangun. Apa yang akan Tuanku lakukan, seandainya mereka sepuluh orang?” kata Tata mulai angkat bicara.

“Tuanku justru telah mengambil kebijakan yang bagus. Dia mengundang kita untuk membicarakan bersama. Musyawarah adalah kemestian, jika kita ingin mendapatkan strategi jitu. Karena, pendapat satu orang tidak lepas dari kelemahan,” sahut Yaya.

Jahoti tersenyum lalu berkata, “Orang-orang mengatakan, Jahoti adalah manusia adil dan bijaksana. Dia tidak menjadikan pangkat dan jabatan sebagai alat kezhaliman. Justru dengan pertemuan Dewan, dia mengeluarkan kebijakan untuk wilayah, hingga wilayah yang jauh di sana.”

“Oh kalau ini sudah maklum. Bahkan pembesar-pembesar negri jauh pun tidak akan berani menolak datang. Demi pertemuan penting mencapai kemaslahatan. Dengan harapan Tuanku dan para pembesar bisa mendapatkan keputusan menghadapi banyak tuntutan dan penentangan,” sahut Yaya.

Auti masuk dengan tergesa-gesa. Napasnya tersengal-sengal seperti orang yang baru terlepas dari kejaran anjing.
“Tuanku dan tuan-tuan sekalian. Maafkan keterlambatan saya. Di tengah perjalanan saya menjumpai peristiwa yang sangat mengejutkan. Anjing-anjing menyalak dengan ganas dan menakutkan seakan-akan kita adalah orang-orang bodoh yang melarikan diri dari tanggung jawab. Bukankah kita adalah manusia-manusia pilihan? Dilantik oleh Fir’aun sebagai pembesar untuk mewakili rakyat di wilayah kita masing-masing. Bukankah kita ini orang-orang yang pintar dan sangat berpengalaman? Kenapa justru membuat kita terkejut dan takut apa yang sekarang sedang ramai di kalangan rakyat banyak hingga keruh malam-malam kita dan seperti tidur di atas bara?”

“Aku ini, anakku, orang tua yang sudah melewati tahun-tahunnya. Aku persembahkan hidupku hingga akar pohon-pohon menancap kokoh. Dan aku sandarkan pucuk yang lembut hingga tidak terbang ditiup angin. Atau bagaimana dahan-dahan itu tidak bergoyang, atau ada tangan yang mengguncang. Aku takuti burung-burung dari buah yang sudah matang, dan aku tidak pernah kikir dengan pengorbanan. Berapa banyak penderitaan yang aku hadapi dan aku sudah lelah. Berapa banyak penghargaan yang aku dapatkan. Kami dari putra-putra generasi pertama, orang-orang yang telah membangun singgasana kerajaan. Kami wariskan kepada kalian kebesaran ini, dengan keringat dan susah payah. Kami persembahkan dengan pengorbanan yang pahit, istana-istana yang berjejer di lembah-lembah. Sumber kehidupan dari kemurahan silsilah tuhan, para Fir’aun. Kekuasaan istana membentang lebar dan panjang ke semua penjuru bumi. Istana yang mempunyai kekuatan lahir dan batin, menurunkan atau meninggikan, dan memberi atau menghalangi. Istana yang penuh dengan kuasa, bahkan penentu takdir-takdir. Maka bagaimana mungkin aku tidak terkejut, atau cemas, atau dirundung kesedihan,” tukas Yaya dengan suara lirih menjelaskan panjang lebar.

“Aku sendiri, tidak ada yang mengubahku. Hatiku masih bergelora dengan keagungan. Dua tanganku masih kokoh. Dan jiwaku penuh kelembutan,” sahut Tata sambil tertawa.
“Memang siapa di antara kita yang gemetar sendi-sendi tulangnya, Tata? Apakah singgasana ini dibangun oleh pengecut?” tanya Jahoti garang.
“Tidak.. tidak. Kalian lebih perkasa dari batu karang. Semua harap tenang,” sergah Yaya
“Akan tetapi aku harus tetap membuka mata seperti ular. Mengukur setiap langkahku di atas tali terbentang. Tidak mungkin aku berdiam di bawah naungan pohon rindang dan santai telentang. Dan menyerah pada hembusan angin sungai. Punggungku harus tetap bersandar di dinding. Selalu siaga agar tidak menyesal kemudian hari. Atau kekuatan lain meruntuhkanku. Atau apakah demam tidak menular? Dan semua berlalu sampai wabah baru mengancam,” sahut Jahoti dengan tegas.

“Baiklah, sekarang mari kita kemukakan pikiran-pikiran. Dan kita pilih solusi yang baik,” kata Tata. Auni, Tangan Kanan Jahoti, permisi angkat bicara dengan penuh sopan.
“Ribuan pemuda sudah berhimpun untuk menentang kita. Mereka telah menyalakan API pembangkangan di setiap sendi tulang. Sehingga membakar dada orang-orang, lalu mengeluarkan kilat-kilat menakutkan seperti desiran angin setan.”

“Pikiranku kuno sudah membatu. Masaku telah berlalu hingga gagasan-gagasannya telah hancur. Namun aku hanya ingin menyampaikan sesuatu sebagai bahan pertimbangan. Pemuda sekarang tidak lagi seperti kemarin. Mereka telah menyadari banyak hal dan membuang jauh wasiat-wasiat lama. Mereka berbaring tenang, tetapi menyimpan penentangan dan permusuhan. Mereka mengatakan, generasi demi generasi telah menipu kita dengan omong kosong. Mengultuskan semua yang pernah dikatakan masa lalu adalah kejahilan yang membudaya dan kebodohan. Dan itulah sumber petaka. Mereka membuat sistem-sistem baru, mencari jalan keluar. Mereka menggali kebenaran dan jawaban. Apakah seperti ini yang mereka klaim. Dan hari ini, kalian pembesar yang juga masih muda, hadir di sini. Barangkali banyak pikiran baru. Pemikiran modern.. pada masa yang selalu mengubah kulitnya setiap hari. Dengan kalian kita bisa memberangus setiap pikiran yang menentang dan menghancurkan, dengan lembut jika lebih berguna, dengan pembiusan, atau kalau perlu dengan kekerasan,” ujar Yaya.

“Kami tidak mengesampingkan pikiran yang cerah ini, atau strategi bagaimana menghadapi. Bahkan kami pada akhirnya adalah para pembesar pilihan yang disegani. Orang-orang mengenal kita dengan dua wajahnya yang lembut dan beku. Kita mengenakan seribu topeng dalam satu hari. Bagi kita apa yang kita inginkan, bukan yang diinginkan oleh orang-orang mabuk yang banyak ribut itu. Kita telah menghadapi semua itu berkali-kali dan bahkan setiap hari. Hingga kita menjadi berpengalaman dan para ahli,” sahut Tata.

“Kalian memang orang-orang pilihan di antara masyarakat ini. Dengan kalian, semakin rindang pohon-pohon kekuasaan. Sawah-sawah menjadi subur dengan gelimangan air, hingga penuh perbendaharaan desa dengan sumbangan dan pemberian kalian. Sedang para penentang itu hanyalah kecoak yang iri dengki atau kelalawar malam yang mengganggu tidur,” puji Auni.
Tata menatap Auni dengan penuh kebanggaan dan senang. “Betapa kalian orang-orang yang penuh ide dan gagasan, buah dari pikiran malam.”

Jahoti memandangnya dengan jengkel. “Kenapa kamu belum juga mengajukan usulan sejak tadi? Apakah kamu sengaja atau kamu menganggap kecil persoalan, Hai Penyelamat.”

“Oh tidak karena apa-apa. Aku memang laki-laki penyelamat. Selalu datang pada saat-saat genting. Aku disegani di banyak wilayah dan dikenal sebagai pangeran tipu daya, mampu menghadapi masalah dengan penuh siasat. Aku berburu dengan senyuman, dan siulan berirama.”
“Tata, segera masuk ke topik persoalan. Kemukakan gagasanmu,” desak Yaya.

Setelah berpikir sejenak, Tata angkat bicara, “Gampang! Kita tenggelamkan mereka dengan isu-isu dan berita-berita. Ini sering menggoda orang-orang. Kita menyerah kepada telinga terbuka siang dan malam. Kalau perlu, undang mereka makan malam di istana. Kemudian kita tanamkan kepada mereka apa yang kita inginkan; segala godaan, berita hangat, seribu alasan. Perlihatkan kepada mereka keberhasilan-keberhasilan kita atau perbaikan-perbaikan. Cukup kita tipu mereka dengan sedikit menyusupi berita-berita. Angkat orang-orang pintar menjadi teman sehingga mereka dipercaya mengemukakan analisa dan penelitian. Kita bisa pergunakan pendukung-pendukung kita yang tersebar di pasar-pasar dan setiap tapak jalan. Tidak usah takut dengan suara mereka, tapi tampakan bahwa kita mengagungkan kritik. Dan kita bisa masukkan sedikit alasan dan beberapa penjelasan.”
“Begitu juga yang sebenarnya sedang aku pikirkan,” sahut Jahoti.

Suara teriakan lirih terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin mendekat. Mereka terdiam dan memasang telinga masing-masing ke arah suara. Semakin dekat dan jelas. Aknom sendirian berteriak-teriak dari depan istana.
“Kokohkan hatimu di kedua tanganmu. Tegakkan keadilan di sekitarmu. Untuk hari ketujuh aku angkat suaraku. Lalu kenapa kebenaran tidak juga sampai ke telingamu. Kenapa? Tuanku, apakah kamu menutup telingamu?”

Darah Jahoti berdesir. Keningnya berkerut dan wajahnya berubah merah. “Nah kalian dengar. Dia kembali lagi. Tidak pernah tenang siang dan malam hingga membuatku hampir gila.”
“Apakah kamu merasa menjadi gila?! Kalau begitu tidak usah kamu dengarkan suara kecoak sawah hina ini,” kata Yaya dengan suara geram.

“Bagaimanapun, aku akan terus menuntutmu. Aku menanti keadilan, yang berpihak kepada orang lemah. Aku tidak akan pernah menutup mulut, sampai kamu kembali ke jalan kebenaran dan keadilan tuhan yang lama. Tuanku bukanlah pembesar dan manusia agung itu, jika tidak menolong orang lemah, jika tidak menjaga harta anak yatim. Jika kamu mencuri roti dari tanganku, maka kamu benar-benar manusia zhalim.”

Tata berdiri dan menghadap kepada Jahoti.
“Jangan bersedih, Tuanku. Aku akan melepaskanmu dari kekacauan ini. Tidak usah kuatir, aku selalu punya obat untuk semua penyakit.”

“Tunggu! Auni, bawa dia masuk ke dalam. Biar para pembesar tahu siapa kecoak ini dan mereka bisa bersiap-siap membuat antisipasi, jika kecoak-kecoak sama bermunculan di wilayah mereka.”
“Baik, Tuanku.”

Auni memerintahkan kepada dua orang punggawa untuk membawa Aknom masuk menghadap raja. Tidak lama kemudian mereka masuk sambil menyeret Aknom yang dipaksa berjalan mengisut di lantai dengan badan membungkuk menyapu permadani. Jahoti duduk dengan gagah didampingi pembantu pribadinya, Auni. Para pembesar menatap dengan sinis kepada Aknom dan tidak sedikit yang mencercanya dengan hinaan dan makian.

“Inilah dia kecoak yang sombong. Berpakaian lusuh yang menutupi tubuh kotornya,” seru Jahoti.

“Maaf, Tuanku. Akan tetapi kamu yang meminta maka aku penuhi. Aku hanyalah seorang petani dan tahu sendiri kadar diriku. Aku tidak sudi disebut kecoak apalagi sombong sedang aku hanya menuntut hak sebagai rakyat.”

“Tidak sudi?!” bentak Jahoti.
“Perkataan macam apa ini keluar dari mulutmu yang bengkok! Apakah kamu tahu sedang berhadapan dengan siapa?” bentak Auni tidak kalah garangnya sambil mencengkram tangannya dan geram ingin memukulnya.

“Aku tahu, atau aku tidak tahu sama. Yang penting aku berpegang pada kejujuran dan tidak mengikuti setan. Apakah ini harus berbeda pada dua kondisi?!”

“Turunkan suaramu, Kurang Ajar!? Atau aku cambuk hingga remuk mulutmu atau kamu meminta ampun. Tidak sudi?! Apakah sahaya yang hina pantas menentang Tuannya yang tidak pernah salah?” bentak Auni sambil mengajukan penghormatan kepada Jahoti yang agung. Jahoti tersenyum puas.

“Maaf, Tuanku. Aku hanya mengulangi perkataanku di telinga pembesar-pembesar yang mulia. Mohon dengarkanlah aku. Kesekian kalinya aku sampaikan, aku tidak pernah mengambil yang bukan milikku. Benar aku orang miskin. Hanya memiliki sebidang sawah yang menghidupiku dari hatinya yang besar. Aku menginjak-injaknya lalu ia mematangkan sayuran dan padi-padi. Aku warisi dari orangtuaku. Aku berangkat ke pasar kota. Di bibir bersiul nyanyian, bersama pikiran memendam harapan. Dan sebidang tanah itu dirampas paksa untuk membangun istana raja-raja. Lalu aku dituduh mencuri dan menghina punggawa hingga dijebloskan ke penjara.”

“Jangan menipu kami, kurang ajar. Kami sudah bosan mendengar cerita bohong yang diulang-ulang ini. Tidak ada jalan selain menerima keputusan. Sawahmu dulu sudah dijual sita. Kami tidak pernah memenjarakanmu. Kami hanya menangkap pencuri dengan dosa besarnya. Kamu sudah merdeka, tapi maaf sawahmu tidak mungkin kembali sebagai tebusan dosa.”

“Aku merdeka sedang sawahku terpenjara?!” seru Aknom berteriak pedih

“Benar, tidakkah kamu lihat sendiri maling mencuri. Tidakkah kamu mengakui. Benar kata orang-orang, tidak ada pencuri yang mau mengakui, meski perutnya penuh dengan harta orang lain atau harta negara. Sawahmu telah menjadi milik negara dan akan dibangun istana,” jelas Auni.

“Tuanku, rupanya tidak mencuri kecuali orang yang tahu bagaimana bersiasat. Tidak ada yang makan harta manusia kecuali manusia. Tidak ada yang mengharapkan kehormatan dunia dengan kepalsuan dan tipu daya, Tuanku, kecuali manusia. Tidak ada yang rakus pada orang-orang kecil kecuali manusia. Manusia berpunggung tak rata telah menjadi bajingan atau durjana. Disibukkan dunia dan berlindung di balik kalimat Tuhan sedang cakarnya mencengkram milik rakyat.”

Semua pembesar tercengang dan saling tatap satu sama lain. Auni berbisik kepada Jahoti, “Dia sudah mulai merangkai kata menjadi jalinan bara yang menghidupkan API. Sebaiknya kita bertindak segera agar dia takut dan jantungnya berdebar.”

“Hai Petani, apakah kamu mencerca para wakil tuhan. Apakah kamu sudah berani mematahkan tongkat kepatuhan lalu mengajarkan kepada kami bagaimana mengatur persoalan. Enyah dari depanku dan segera menyingkir dari sautan cambuk ini. Semua sudah diputuskan, dan sekarang kembalilah. Dan jangan lupa kamu hanya kecoak tak berguna.”

“Tuanku, maaf. Pakaianku memang tidak bisa menyuarakan kelembutan hatimu. Namun sawahku adalah bagian hidupku yang tersisa bersama bangunan rumah beratap rumbia. Kami makan di sana bersama, dan kami lapar saat anak-anak lapar di sana.”

“Enyah! Tidak usah kamu ajari kami. Atau sebaiknya kamu bawa sesajen dan mohon kepada dukun untuk mengatasi masalahmu. Lukis semua penampakan dan sebarkan kepada khalayak bersama kantong-kantong sumbangan.”

“Apakah kita telah melangkah kembali ke belakang dan hidup dalam era kegelapan? Apakah kamu lihat aku hari ini bersimpuh di depan pembesar dari para penghuni pyramid-pyramid yang agung.”
“Usir dia, aku sudah bosan mendengar ocehannya. Biarkan dia berteriak-teriak di luar sana sampai letih sendiri, atau tertidur di samping tembok istana.”

Auni segera memerintahkan kepada para punggawa untuk menyeretnya keluar. Aknom melawan dengan keras. Dia meronta untuk melepaskan diri. Para punggawa menjatuhkannya dan mendorong tubuhnya yang tergeletak di lantai permadani. Dia melawan. Auni menuruni tangga singgasana dan ikut serta menendang tubuhnya dengan keras memaksanya keluar. Aknom mengaduh kesakitan, tapi terus bertahan. Selama kebenaran masih tersiksa, ia tetap bersabar dengan kesabaran warisan leluhur.

“Kalian telah berjalan dengan kekuasaan yang semena-mena, bersama luka-luka cambuk yang tidak pernah bosan, dan kekerasan penguasa zhalim yang tak pernah henti. Cahaya wajahmu yang penuh dengan senyuman, Tuanku, menyingkap sendiri wajah-wajah pencuri dan bajingan di istana. Dan bisa membuka kedok para penjahat.”

“Tutup mulutmu!” bentak Auni. Jahoti berang dan semakin emosi. “Bawa dia ke tempat penyiksaan!” perintahnya dengan teriakan garang.

“Silahkan, bawa aku. Siksa aku. Aku sudah tidak perduli kegelapan penjara dan cambuk siksaan. Sawahku sudah hilang dan hidup dalam cengkraman manusia durjana. Ya, lebih baik kalian siksa aku. Gelap malam tidak akan pernah mencekikku, dan angin malam tidak akan pernah menerpaku. Apa yang ada dalam otaku, rela mendekam dan berdiri sendiri di depan kegelapan. Karena di atasku masih ada bintang-bintang, yang menyinari lembah-lembah. Dan akan berteriak setiap hari, manusia-manusia baru yang menuntut keadilan dan kebenaran. Semakin hari akan semakin bertambah, Tuanku dan para pembesar sekalian. Harapan yang jauh menjadi dekat. Silahkan siksa aku sepuas kalian. Percayalah, harapan yang jauh akan semakin dekat.”

Para punggawa yang lain berdatangan dan mereka membantu tekan-rekannya membawa Aknom ke penjara istana, tempatnya menanti siksaan. Suasana sepi mencekam beberapa saat mengiringi gelengan kepala para pembesar yang terkejut bukan kepalang melihat keberanian petani lusuh menentang penguasa. Sampai keheningan itu dipecahkan suara Auni yang kembali angkat bicara memberikan penjelasan kepada para pembesar yang masih duduk tenang bersama jamuan.

“Begitulah tuan-tuan sekalian. Tidak ada cara lain untuk mendiamkan orang-orang pembangkang seperti itu. Semakin mendapatkan keleluasaan, mereka semakin berani. Seandainya bukan karena Tuanku, Jahoti, yang ingin menunjukkan kepada kalian semua, tentu saja tidak sampai terjadi seperti ini di depan tuan-tuan semua.”

Satu persatu para pembesar memberikan pujian kepada Jahoti dan mereka sangat mendukung langkah kebijakannya.
“Langkah Tuanku sangat bijak. Setelah diperintahkan keluar, dia masih saja melawan. Tidak ada cara lain selain penjara dan siksa. Orang sepertinya memang tidak berguna,” kata salah seorang dari mereka.

Jahoti menatap wajah pembesar satu persatu dengan penuh bangga mendengar pujian mereka. Sampai pandangannya terjatuh ke kursi-kursi paling ujung. Raut mukanya berubah dan tidak mampu menyimpan kekagetan di balik kebangaan. Beberapa pembesar tampak asing di matanya. Pembesar iklim dari mana? Jangan-jangan mereka mata-mata, dari orang-orang kampung yang kelaparan lalu diminta rakyat wilayahnya untuk menyusup ke dalam istana. Orang-orang yang ditatapnya menundukkan wajah. Yaya memperhatikan tatapan raja, lalu segera berdiri di tempat dan meminta kesempatan bicara.

“Tuanku, mereka adalah teman-teman saya. Datang dari negri jauh untuk belajar bagaimana cara kita menyiasati rakyat. Mereka ingin tahu, bagaimana kita bermusyawarah untuk menghadapi para petani yang membangkang dan orang-orang yang kelaparan. Mereka masih muda dan penuh harapan untuk menjadi pemimpin masa depan. Awalnya datang tak terduga lewat lorong lintas waktu di dapur pribadi milik hamba, Tuanku.”

“Oh begitukah?! Selamat datang tuan-tuan di negri Ahnasia. Apakah di negri kalian juga ada kecoak-kecoak pembangkang seperti itu?”

“Ada juga, Tuanku. Karena itulah kami kemari untuk belajar banyak bagaimana cara mengatasinya. Di Blora, wilayah saya pernah ada yang sampai diasingkan dari negri, karena menentang kami, para penguasa, dengan keras. Namun pada masa-masa sekarang kami sudah tidak bisa melakukan cara seperti itu lagi. Usulan yang dikemukakan oleh pembesar Tata sangat masuk akal dan jitu. Kami juga pelan-pelan sudah menggunakan cara seperti itu. Dan hasilnya sudah lumayan kelihatan. Bahkan keinginan kami ke sini pun mendapat penentangan dari rakyat. Kami berangkat diam-diam dan berpura-pura menampakkan di depan mereka bahwa kami perduli dengan tuntutan mereka. Lalu kita beri alasan-alasan yang masuk akal, dan kita susupi berita-berita dengan komentar-komentar yang menyejukkan,” kata salah seorang dari mereka yang kemudian mendapat anggukan kepala dari teman-temannya yang lain.

“Bagus-bagus. Pertemuan ini cukup sampai di sini. Kepada para pembesar wilayah sekalian, saya berharap agar berhati-hati dan segera lancarkan siasat kita dengan sebaik-baiknya, agar wilayah kekuasaan kita jangan sampai terjadi keributan dan penentangan. Kepada tuan-tuan dari negri jauh, saya sampaikan selamat datang ke negri Fir’aun, Negri yang agung ini. Auni, tolong layani tamu-tamu kita ini. Dan jangan lupa ajak mereka mandi di Hamam Fir’aun semoga mereka mendapatkan berkahnya dalam memimpin di wilayah mereka masing-masing.”

Para pembesar dan tamu-tamu agung itu kemudian membubarkan diri setelah memberikan penghormatan kepada Jahoti. Kemudian mereka kembali ke tempat-tempat yang telah disiapkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar